Sebelum hamil, tekanan darah saya normal bahkan cenderung rendah. Menginjak bulan ke 5, tekanan darah saya mulai naik menjadi 120/80. Dokter bilang normal..mungkin karena bayi dalam kandungan 2, jadi tekanan bertambah. Saya sih percaya saja... masak dokter senior dilawan.
Masuk bulan ke 6, tekanan darah kian naik menjadi 130/90. Hati mulai merasa tak tentram walau pak dokter bilang normal... Kaki mulai sering bengkak. Awalnya saya pikir karena kecapaian di kantor, tetapi setelah istirahatpun, bengkaknya tak kunjung hilang. Dokter cuma bilang terus istirahat dan perbanyak makan protein. Alhasil, tiap hari saya dipaksa makan putih telur rebus.
Suami sebenarnya sudah mendesak supaya saya mengambil cuti dan istirahat saja di rumah; tetapi dasar keras kepala, saya tetep ngotot bekerja.
Masuk bulan ke 7, tekanan darah menjadi 140/100. Wajah, tangan, kaki membengkak. Dokter kelabakan dan menyuruh opname. Setelah serentetan test, saya didiagnosa terkena pre-eklamsia (pembahasan tentang penyakit ini akan menyusul di post berikutnya).
Mendengar diagnosa dokter, saya tetep ngotot untuk rawat jalan. Dokter mengancam, kalo tekanan darah kian naik akan terjadi kejang. Kalau sampai kejang, nyawa ibu dan anak akan terancam. Saya harus segera diopname supaya tekanan darah bisa diturunkan, jika tekanan tidak bisa turun juga
Saya langsung bungkam. Jadilah tengah malam itu saya check in di sebuah rumah sakit swasta dekat sutos.
Sesampainya di rumah sakit, saya langsung dinaikkan ke kursi roda dan dibawa ke ruang melahirkan. Begitu masuk ke kamar, muncullah 2 orang suster berwajah baja nan mahal senyum. Haduh... ternyata gossip tentang suster - suster judes nan galak di rumah sakit ini memang benar adanya, begitu pikir saya.
Suami saya segera diusir keluar. Saya dipaksa untuk telanjang dan berganti pakaian rumah sakit. Setelah suami saya keluar, mereka menjadi cukup lembut dan meminta saya untuk rilex karena mereka akan memasang kateter.
Tak lama, muncullah seorang suster lain yang berwajah cukup ramah. Dia datang untuk memasang infus obat. Ternyata dia cukup friendly. Dia banyak mengajak bergurau, mungkin untuk membuat saya rilex. Suster lainpun masuk untuk memantau detak jatung kedua bayi saya. Beliau sempat menenangkan saya dengan ceritanya, lalu menyuruh untuk tidak putus - putus berdoa.
Yah ternyata gossip suster - suster judes itu tidak benar, setidaknya pada kasus saya.
Dokter kandungan saya akhirnya memilih rekanan dokter jantung senior terkenal di Surabaya untuk menangani saya. Pagi-pagi dokter kardiologi ini sudah berkeliling untuk memeriksa pasien. Ternyata betul kata orang, beliau emang agak "nyengit". Salah satu suster yang kemarin memasang kateter sayapun sempat kena bentak karena hasil lab saya belum siap.
Tekanan darah saya terus dipantau dan puji Tuhan berkat dokter jantung galak tadi, tekanan darah saya berangsur turun. Setelah 3 hari menginap di rumah sakit, dokter jantung memberi putusan bahwa tekanan darah saya stabil 130/85 dan boleh pulang. Tinggal menunggu keputusan dokter kandungan saja. Saat beliau datang kontrol sore hari, beliaupun mengijinkan saya pulang dengan syarat di rumah harus bedrest total dan diet rendah garam. Jadwal kontrol ke dokter kandunganpun dirubah menjadi seminggu sekali.
Suami kini jadi perawat pribadi. Empat kali sehari tekanan darah saya diukur. Ada kalanya saya sempat trauma melihat alat pengukur itu. Makanan yang masuk ke mulut saya benar - benar dikontrol. Aneka ragam makanan yang dipercaya dapat menurunkan tekanan darah, seperti belimbing, daun seledri, dan mentimunpun saya konsumsi. Obat terus saya minum dengan teratur.
Tetapi memang putri - putri kecil saya ditakdirkan hadir ke dunia lebih awal. Pada saat usia kandungan saya memasukin 8,1 bulan, tekanan darah saya naik lagi menjadi 150/110. Dokter kandungan saya mengambil keputusan bahwa kehamilan saya akan diterminasi.
saat operasi caesar |
Akhirnya pada tanggal 11 Agustus, kedua putri kembar sayapun hadir ke dunia. Walau kecil ( 2160gram dan 1800gram ), suara tangisan mereka keras sekali.
Merekapun dimasukkan ke dalam inkubator dan dipasangi aneka selang dan monitor pemantau. Saya sih tidak melihat prosesnya karena masih dalam masa pemulihan pasca operasi.
Pihak rumah sakit cukup tegas dalam menetapkan aturan membesuk pasien NICU (wajar sih..). Jadi setiap jam 6 pagi, saya berjalan tertatih - tatih menahan sakit bekas luka operasi menuju ruang NICU sambil memasang muka melas, menunggu belas kasihan suster - suster NICU supaya saya boleh menenggok bayi kembar saya.
Kayaknya lama - lama mereka kasihan juga ama saya, saya dibiarkan berlama - lama di ruang NICU. Kalo ada dokter datang baru saya diusir keluar.
Setelah seminggu di NICU, puji Tuhan bayi - bayi saya diperbolehkan pindah ke ruang bayi. Lega karena mereka berarti sudah stabil dan juga lega karena biaya menjadi agak lebih ringan setelah keluar dari ruangan NICU.
Di ruang bayi itulah saya diperkenalkan pada Kangaroo Mothercare ( ntar ditulis lebih jelas lagi tentang KMC di post selanjutnya yaaa... ). Metode ini digabung dengan kasih sayang, doa, dan perawatan medis akhirnya membuahkan hasil. Celine dan Jessie berangsur kuat dan berat badannya berangsur meningkat.
Diberikan bersama ASI untuk membantu menambah berat badan bayi. |
Dokter memperbolehkan Celine pulang duluan. Saat itu beratnya 2500gr. Jessie pulang 3 hari kemudian dengan berat badan 2300gr.
Saat tulisan ini dibuat, usia lahir mereka 2.5 bulan. Berat badan Celine sudah mencapai 5300gram dan Jessie 5000gr. Masih underweight sih jika dibanding bayi - bayi seusia mereka, tetapi melihat selera minum mereka yang begitu bagus, saya yakin mereka akan segera mengejar ketertinggalan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar